Jangan Lupa Bahagia

Rabu, 20 Januari 2016

Naskah Drama Novel "ATHEIS"



ATHEIS
Cintaku Untukmu”

DICERITAKAN ADA SEORANG PEMUDA YANG HIDUP DI DESA PANYEREDAN BERNAMA HASAN. HASAN DAN ORANG TUANYA ADALAH PEMELUK ISLAM YANG FANATIK. DENGAN DEMIKIAN, SEJAK KECIL IA SUDAH DIAJARI UNTUK SELALU TAAT BERIBADAH, RAJIN MENGAJI DAN BERSEMBAHYANG. SAAT IA BERSEKOLAH DI MULO, IA MENJALIN ASMARA DENGAN SEORANG WANITA YANG BERNAMA RUKMINI. NAMUN APA DAYA, RUKMINI YANG MEMILIKI KEDUDUKAN SOSIAL LEBIH TINGGI, SUDAH DIJODOHKAN DENGAN PENGUSAHA KAYA DARI JAKARTA. HATI HASAN PUN HANCUR. IA MENJADI FRUSTASI. UNTUK MENGHILANGKAN RASA SAKIT HATINYA, IA MULAI SANGAT MENDALAMI ISLAM BERSAMA AYAHNYA. KINI HASAN PINDAH KE BANDUNG DAN BEKERJA DI KOTAPRAJA SEBAGAI PEGAWAI PEMERINTAH PENDUDUKAN JEPANG .

Babak 1.
Adegan 1.
            Siang hari sekitar pukul 13.00 Hasan sedang menjaga loket bagian jawatan air di Kotapraja. Suasananya tidak begitu ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang berderet di muka loket-loket itu. Pada saat itu masuk seorang laki-laki muda dari pintu besar ke dalam ruangan. Ia diiringi oleh seorang perempuan. Ternyata, laki-laki muda itu adalah teman lama Hasan.
Rusli   : “Itu!” (menunjuk ke arah loket Hasan dan berjalan mendekati loket).
Hasan : (Melihat Rusli dan sesekali melirik ke arah Kartini dengan sedikit terkejut).
  “Sekarang tuan.”
Rusli   : “Saya baru pindah ke Kebon Manggu 11,” (sambil bertelekan dengan tangannya  di atas landasan loket).
Hasan : “O, minta pasang?”
Rusli   : “Betul, Tuan!” (sambil menatap wajah Hasan).
              “Tapi… tapi… (tiba-tiba) astaga, ini kan Saudara Hasan, bukan?!”
Hasan : “Betul,” (sahutnya agak tercengang, lantas menegas-negas wajah Rusli).
              “Dan Saudara siapa?”
Rusli   : “Lupa lagi?” (tersenyum)
              “Masa lupa? Coba ingat-ingat!”
Hasan : (Menegas-negas lagi wajah Rusli) “An! Tentu saja aku tidak lupa? Masa lupa!
Ini kan Saudara Rusli?” (riang mengeluarkan tangan ke luar loket untuk  berjabatan).
  “Astaga, tidak mengira kita akan berjumpa lagi ya. Di mana sekarang?”
Rusli   : “Di sini, baru seminggu pindah dari Jakarta.”
Hasan : “Di sini? Syukurlah… Astaga! (menggeleng kepala) Sudah lama kita tidak
    bertemu ya? Sejak kapan?”
Rusli   : “Saya rasa sejak bersekolah di Tasikmalaya dulu. Sejak itu kita tidak pernah
    berjumpa lagi.”
Hasan : “Memang, memang (mengangguk-angguk) memang sudah lama sekali ya?
    Sudah berapa tahun?”
Rusli   : “Ya, ya, lima belas tahun (berkecak-kecak dengan lidah) bukan main lamanya
    ya! Tak terasa waktu beredar. Tahu-tahu kita sudah tua, bukan?”
Hasan : (Tertawa).
Rusli   : “Eh perkenalkan dulu, adikku, Kartini (menoleh kepada Kartini). Tin! Tin!
    Perkenalkan, ini Saudara Hasan, teman sekolahku dulu.”
Hasan : “Hasan,” (bisiknya dalam mulut).
Kartini: “Kartini,” (menyahut dengan tegas dari balik loket).

Adegan 2.
            Hasan pun menyelesaikan urusan pasang air yang diminta oleh Rusli. Dengan tekun ia mencatat semua peralatan yang dibutuhkan untuk segera diurus oleh pegawai loket yang lain. Setelah itu, Hasan kembali menemui Rusli dan Kartini.
Rusli   : “Sangat kangen saya kepada Saudara,” (melipat sehelai formulir ).
Hasan : “Saya pun begitu,” (memungut potlot yang jatuh).
              “Datanglah ke rumahku.”
Rusli   : “Baik, di mana rumah Saudara?”
Hasan : “Sasakgantung 18.”
Rusli   : “Baik, tapi baiknya Saudara dulu datang ke rumahku.”
Hasan : “O ya, ya, insyaallah, memang tuan rumah dulu yang harus memberi selamat
    datang kepada orang baru.”
Rusli   : “Datanglah nanti sore, kalau Saudara sempat. Nanti kita ngobrol. Datanglah kira- kira setengah lima begitu!”
Hasan : “Insyaallah! Di mana rumah Saudara itu? Oya, ya, ini kan ada dalam daftar:
    Kebon Manggu 11.”
Dengan gembira Rusli dan Kartini berpisah dengan Hasan. Kartini mengangguk sambil tersenyum. Hasan mengangguk kembali agak kemalu-maluan. Jantung Hasan sedikit berdebur ketika matanya bertemu dengan mata Kartini.






Adegan 3.
            Sore itu, Hasan mendayung sepedanya menuju rumah Rusli di  Gang Kebon Manggu. Sambil mendayung, Hasan bertanya-tanya dalam hati. Siapakah sebetulnya wanita yang diajak Rusli tadi. Wajah Kartini yang cantik pun terbayang-bayang oleh Hasan, sampai-sampai ia hampir tertabrak oleh sebuah mobil yang tiba-tiba datang dari tikungan Jalan Pungkur. Tepat pukul 17.00 Hasan tiba di rumah Rusli.
Rusli   : “Ah Saudara? Silahkan masuk, Saudara!”
Hasan : (Menyenderkan sepeda di tembok).
Rusli   : “Sepedanya kunci saja, Bung!” (sambil membuka pintu).
“Silahkan duduk, Bung! Saya baru saja beres-beres rumah (menyodorkan
sebungkus rokok).  Mari merokok, Bung! Saya sendiri tidak begitu suka
merokok sigaret. Saya lebih suka menggulung sek saja, atau kalau ada masalah lebih suka rokok kuwung saja.”
            Mereka kemudian asyik menceritakan lakon masing-masing semenjak berpisah lima belas tahun yang lalu. Sambil bercerita mereka merokok terus. Hasan pun mengelilingi rumah Rusli. Melihat-lihat semua sudut rumah. Mereka duduk kembali di serambi muka.
Hasan : “Yang tadi bersama-sama kau itu, siapa sebetulnya? Kusangka istrimu.”
Rusli   : “Istriku?” (tertawa).
Hasan : “Jadi bukan istrimu?”
Rusli   : (Tersenyum).
Hasan : “Kau perkenalkan dia kepadaku tadi sebagai adikmu, Kukira kau hanya berolok-
   olok saja, sebab setahuku kau tidak pernah mengatakan punya adik seorang
   perempuan.”
Rusli   : “Kupikir kau ini agaknya ingin sekali mengetahui siapa dia itu. Betul tidak,
    San?” (memincingkan mata sebelah).
Hasan : “Tidak! Sekali-kali tidak, Rus!” (menyahut dengan tegas).

Rusli pun menceritakan riwayat hidup Kartini kepada Hasan. Ternyata, Kartini telah dipaksa kawin dengan ibunya dengan seorang rentenir Arab kaya. Ibunya pun berhasil menggaruk harta dari kekayaan si Arab kikir. Setelah ibunya meninggal dunia, Kartini segera melarikan diri dari kungkungan si Arab tua itu.
Rusli   : (Tiba-tiba bangkit dari kursinya). “Nah itu datang dia!”
Hasan : (Memanjangkan leher melihat ke luar jendela).
Rusli   : (Membuka pintu) “Halo Tin! Mari, mari masuk!”
Kartini: “Tidak terlalu sore saya datang?!” (tersenyum).
Rusli   : “Ah tidak.”
Kartini: “Jadi kita pergi?” (bertanya memandang Rusli).
Rusli   : “Tentu saja,” (memadamkan rokoknya dalam asbak dan bangkit permisi hendak
   mandi).
  “Saudara-saudara bercakap-cakaplah saja dulu.”
Kartini: “Tuan sudah lama?”
Hasan : “Sudah satu jam kira-kira.”
Kartini: “Rumah Tuan di mana?”
Hasan : “Dekat. Di Jalan Sasakgantung 18.”
Kartini: “O dekat. Saya pun tidak jauh dari sana.”
Hasan : “Di mana?”
Kartini : “Saya di Lengkong Besar 27.”
               “Datanglah sekali-sekali ke rumahku.”
               “Dan sekarang? Tuan toh akan ikut juga menonton?”
Hasan : “Menonton?” (tertegun).
              “Ah tidak!”
Rusli   : “Ya, San, ikutlah! Marilah untuk malam ini kita sama-sama bersukaria.”
  (berteriak dari dalam kamar).
Hasan : “Saya ada urusan lain mesti ke rumah Paman.”
            Hasan pun menolak ajakan Rusli dan Kartini untuk menonton film bersama. Hasan tidak pernah menonton sebelumnya. Didikan keagamaannya tidak sesuai dengan sifat-sifat keriahan dan keduniawian seperti menonton bioskop itu. Hasan tidak ingin kesan alim dan salehnya tercoret akibat duduk di bioskop bersama-sama seorang perempuan yang bukan muhrim. Hasan pun pulang ke Sasakgantung.

Babak 2.
Adegan 1.
            Hasan tidak tahan berdiam di kamarnya. Kamarnya terasa panas. Padahal malam Bandung cukup sejuk. Ia memakai pici, lalu keluar berjalan-jalan mencari hawa segar. Ia  pun berjalan menuju arah Lengkong Besar.  Hasan bertemu kupu-kupu malam di pinggiran jalan. Tetapi Hasan tak acuh dan tetap berjalan. Di simpangan ke Gang Asmi, Hasan dikejutkan dengan suara perempuan. Suara itu rupanya adalah suara Kartini yang tidak diketahui sebelumnya.
Kartini: “Tuan! Tuan! Tunggu dulu! Tolong saya! Serdadu mabuk, Tuan!” (terkapah-
    kapah ketakutan).
Hasan : “Ada apa?” (cemas bercampur heran).
Kartini: “Serdadu mabuk, Tuan!” (sesekali menoleh ke belakang).
Hasan : “Di mana?”
Kartini: “Di warung kopi barusan. Saya lewat di sana, tiba-tiba dari warung kopi keluar
    dua orang serdadu Belanda, menyanyi-nyanyi tak karuan, manggil-manggil saya.
    Saya lari. Tuan, bolehkah saya turut jalan bersama tuan sampai ke rumah?”
Hasan : “Rumahnya di mana?”
Kartini: “Lengkong Besar 27.”
Hasan : “Nyonya kan nyonya Kartini?”
Kartini: “Ya, ya, betul Tuan! Tapi, tapi eh, maaf saja, kalau saya tidak keliru, bukanlah
   tuan itu tuan… eh tuan yang sudah saya berkenalan di rumah Saudara Rusli
   tempo hari? O ya, ya, saya ingat sekarang, tuan kan Tuan Hasan, bukan?”
Hasan : “Betul, Nya!”
Kartini: “Ah maaf saja, karena malam kurang terang, saya tidak lekas mengenal tuan.
    Dan juga karena tuan sekarang memakai piyama.”
Hasan : “Ya begitu juga saya. Maaf saja. Saya pun tidak segera mengenal nyonya, karena
    gelap, dan nyonya pakai kudungan dan mantel. Dari mana nyonya malam-
    malam begini?”
Kartini: “Dari Gang Yuda. Ah kenapa Saudara bilang ‘nyonya’? Panggil sajalah
   ‘saudari’.”
Hasan : (Tersenyum sambil menahan rasa bahagia di hati kecilnya).
Kartini: “Dingin ya,” (menggigil).
            Mereka berjalan terus sambil bungkem, seolah-olah segan mengganggu kesunyian alam. Tiba-tiba di tikungan Tuindorp, datang sebuah mobil sedan. Lampunya menyorot besar. Tumpah seluruh cahayanya kepada mereka berdua. Ketika mau mengambil tikungannya, mobil itu terlalu ke pinggir, sehingga dengan menjerit ketakutan Kartini meloncat ke pinggir persis jatuh ke hadapan Hasan. Kakinya terpelocok. Dengan segera Hasan menyangga badan Kartini dan seketika itu juga badan Kartini sudah berada dalam pelukan Hasan.
Kartini: “O maaf Saudara,” (lekas berdiri tegak).
Hasan : “Eh… eh, sakit Saudara? Saya… eh, saya…” (katanya gugup terpatah-patah).
Kartini: “Nah itu rumah saya!” (menunjuk ke arah rumah berkaca yang terang dalamnya).
Hasan : “O itu?!” (berjalan mendekati rumah).
Kartini: “Mari masuk!” (tersenyum amah).
Hasan : “Ah terima kasih. (agak ragu) Sudah terlalu malam. Masuklah saja Saudara,     saya  akan menanti di sini sampai Saudara sudah masuk ke rumah.”
Kartini: “Tidak mampir dulu?”
Hasan : “Biarlah lain kali saja.”
Kartini: “Baiklah,” (menyodorkan tangannya untuk berjabatan)
“Selamat malam dan terima kasih,” (dengan suara mesra lalu bergegas masuk ke  rumah).
             “Ada yang saya lupa,” (kembali menghampiri Hasan).
             “Datanglah sering-sering ke rumah kakak saya.”
Hasan : “Ke rumah kakak Saudara?!”
Kartini: “Ah ya, aku lupa saja, ke rumah Bung Rusli! Datanglah sering-sering ke sana,
    saya pun hampir tiap sore datang.”
(Berbisik mesra dengan suara melandai) “Kebaikan Saudara akan saya simpan dalam hati saya seumur hidup.”
            Hasan termangu-mangu saja seperti terpesona kepada Kartini. Sejak saat itulah, hati kecilnya teguh bahwa Hasan memang benar-benar menyukai Kartini. Sejak saat itu juga hubungan Hasan dan Kartini semakin dekat. Kartini yang hidup bebas dan atheis tanpa sengaja menjerumuskan Hasan ke dalam kebebasan. Hasan pun menjadi biasa menuruti semua usul Kartini.

Adegan 2.
            Sekitar jam setengah sembilan malam, Hasan dan Kartini pergi ke bioskop. Kira-kira setengah dua belas bioskop bubar. Penonton berjejal keluar dari pintu gerbang. Kartini melepaskan napas panjang ketika sudah bebas dari aliran manusia yang berdesak-desak itu.
Kartini: “Sangat segar, ya! (Kartini menghirup hawa) Kita jalan kaki saja ya, hawanya
enak sejuk, dan angin tidak berapa. Terang bulan lagi!”  (mendekati bangku di   muka park di Jalan Landraad dan Pieterspark).
  “Kita duduk-duduk dulu?”
Hasan : “O baik,” (dengan suara sangat riang).
Kartini: “Sering Saudara duduk-duduk di sini?”
Hasan : “Kenapa Saudara tanya begitu?” (sedikit terkejut).
Kartini: “Ah tidak apa-apa.”
Hasan : “Dulu saya sering juga duduk-duduk di sini, ketika saya masih sekolah.”
Kartini: “Malam?”
Hasan : “Siang. Sekali-sekali juga malam.”
Kartini: (Menyandarkan kepalanya ke atas sandaran bangku. Menengadah ke langit.)
  “Bulan ini juga yang menyaksikan Saudara di dalam park ini dulu?”
Hasan : “Saudara! Bolehkah saya bertanya sedikit?”
Kartini: “Apa saudara?”
Hasan : “Apa paman… eh pandangan saudara terhadap Saudara Rusli?”
Kartini: “Terhadap dia? (tetap tenang, agak tak acuh). Dia orang baik, dia kawan baik
   (kemudian sambil menegakkan dirinya). Kenapa?”
Hasan : “Ah tidak.”
Kartini: “Ah memang kami suka mengemukakan kepada orang lain, bahwa kami kakak- beradik. Itu  karena memang saya merasa seperti adiknya, dan dia seperti kakak   saya.”
Hasan : “Saya kira, Saudara itu betul-betul adiknya. Tapi ternyata bukan. Berbahagia
juga rupanya Rusli dengan adiknya seperti Saudara ini,” (berbicara agak sinis).
Kartini: “Marah San?”
Hasan : “Ah tidak, kenapa mesti marah?”
Kartini: “Syukurlah kalau tidak marah. Kukira marah, tidakkah lebih baik kita saling
    tegur dengan nama saja? Perkataan ‘Saudara’ itu agak kaku rasanya. Kenapa
    tidak suka memanggil aku Tin atau Tini? (lembut). Ah inginlah aku       mendengar nama kasihku itu dari mulutmu.”
Hasan : “Belum cukup dari mulut kakakmu Rusli?”
Kartini: “Kau tidak mengerti aku,” (bisiknya sambil mengeluh ringan lalu menatap bulan).
               “Rupanya kau cemburu kepada dia, San?”
Hasan : (Menatap Kartini dari samping).
Kartini: “Bagaimana aku bisa mencintai dia, kalau aku tahu bahwa untuk dia hanyalah
               perjuangannya yang menjadi tujuan hidupnya. Tak ada yang lebih dicintainya
               daripada ideologi dan cita-cita politiknya.”
Hasan : “Jadi kau tidak mencintai dia, Tin?”
Kartini: “Lindungilah daku,” (bisiknya dan meletakkan kepalanya di atas dada Hasan).

            SEJAK MALAM ITU, HASAN MERASA MENJADI SEORANG MANUSIA BARU LAGI. MAKIN INDAH. MAKIN RIANG. MEMBERI HARAPAN DAN KEBAHAGIAAN. SEKIAN LAMA MENJALIN HUBUNGAN DENGAN KARTINI, HASAN PUN MEMBULATKAN TEKADNYA UNTUK MENIKAHI KARTINI SELEKAS MUNGKIN.
            PADA TANGGAL 12 FEBRUARI 1941, DIKIKAHILAH KARTINI OLEH HASAN. PERAYAAN PERNIKAHANNYA BERLANGSUNG DENGAN SANGAT SEDERHANA. ATAS PERMINTAAN KARTINI, HASAN PUN PINDAH KE RUMAHNYA DI LENGKONG BESAR. MAKA MULAILAH HALAMAN-HALAMAN BARU DALAM HIDUP HASAN.
             
-TAMAT-


1 komentar: