Jangan Lupa Bahagia

Rabu, 20 Januari 2016

Naskah Drama Novel "ATHEIS"



ATHEIS
Cintaku Untukmu”

DICERITAKAN ADA SEORANG PEMUDA YANG HIDUP DI DESA PANYEREDAN BERNAMA HASAN. HASAN DAN ORANG TUANYA ADALAH PEMELUK ISLAM YANG FANATIK. DENGAN DEMIKIAN, SEJAK KECIL IA SUDAH DIAJARI UNTUK SELALU TAAT BERIBADAH, RAJIN MENGAJI DAN BERSEMBAHYANG. SAAT IA BERSEKOLAH DI MULO, IA MENJALIN ASMARA DENGAN SEORANG WANITA YANG BERNAMA RUKMINI. NAMUN APA DAYA, RUKMINI YANG MEMILIKI KEDUDUKAN SOSIAL LEBIH TINGGI, SUDAH DIJODOHKAN DENGAN PENGUSAHA KAYA DARI JAKARTA. HATI HASAN PUN HANCUR. IA MENJADI FRUSTASI. UNTUK MENGHILANGKAN RASA SAKIT HATINYA, IA MULAI SANGAT MENDALAMI ISLAM BERSAMA AYAHNYA. KINI HASAN PINDAH KE BANDUNG DAN BEKERJA DI KOTAPRAJA SEBAGAI PEGAWAI PEMERINTAH PENDUDUKAN JEPANG .

Babak 1.
Adegan 1.
            Siang hari sekitar pukul 13.00 Hasan sedang menjaga loket bagian jawatan air di Kotapraja. Suasananya tidak begitu ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang berderet di muka loket-loket itu. Pada saat itu masuk seorang laki-laki muda dari pintu besar ke dalam ruangan. Ia diiringi oleh seorang perempuan. Ternyata, laki-laki muda itu adalah teman lama Hasan.
Rusli   : “Itu!” (menunjuk ke arah loket Hasan dan berjalan mendekati loket).
Hasan : (Melihat Rusli dan sesekali melirik ke arah Kartini dengan sedikit terkejut).
  “Sekarang tuan.”
Rusli   : “Saya baru pindah ke Kebon Manggu 11,” (sambil bertelekan dengan tangannya  di atas landasan loket).
Hasan : “O, minta pasang?”
Rusli   : “Betul, Tuan!” (sambil menatap wajah Hasan).
              “Tapi… tapi… (tiba-tiba) astaga, ini kan Saudara Hasan, bukan?!”
Hasan : “Betul,” (sahutnya agak tercengang, lantas menegas-negas wajah Rusli).
              “Dan Saudara siapa?”
Rusli   : “Lupa lagi?” (tersenyum)
              “Masa lupa? Coba ingat-ingat!”
Hasan : (Menegas-negas lagi wajah Rusli) “An! Tentu saja aku tidak lupa? Masa lupa!
Ini kan Saudara Rusli?” (riang mengeluarkan tangan ke luar loket untuk  berjabatan).
  “Astaga, tidak mengira kita akan berjumpa lagi ya. Di mana sekarang?”
Rusli   : “Di sini, baru seminggu pindah dari Jakarta.”
Hasan : “Di sini? Syukurlah… Astaga! (menggeleng kepala) Sudah lama kita tidak
    bertemu ya? Sejak kapan?”
Rusli   : “Saya rasa sejak bersekolah di Tasikmalaya dulu. Sejak itu kita tidak pernah
    berjumpa lagi.”
Hasan : “Memang, memang (mengangguk-angguk) memang sudah lama sekali ya?
    Sudah berapa tahun?”
Rusli   : “Ya, ya, lima belas tahun (berkecak-kecak dengan lidah) bukan main lamanya
    ya! Tak terasa waktu beredar. Tahu-tahu kita sudah tua, bukan?”
Hasan : (Tertawa).
Rusli   : “Eh perkenalkan dulu, adikku, Kartini (menoleh kepada Kartini). Tin! Tin!
    Perkenalkan, ini Saudara Hasan, teman sekolahku dulu.”
Hasan : “Hasan,” (bisiknya dalam mulut).
Kartini: “Kartini,” (menyahut dengan tegas dari balik loket).

Adegan 2.
            Hasan pun menyelesaikan urusan pasang air yang diminta oleh Rusli. Dengan tekun ia mencatat semua peralatan yang dibutuhkan untuk segera diurus oleh pegawai loket yang lain. Setelah itu, Hasan kembali menemui Rusli dan Kartini.
Rusli   : “Sangat kangen saya kepada Saudara,” (melipat sehelai formulir ).
Hasan : “Saya pun begitu,” (memungut potlot yang jatuh).
              “Datanglah ke rumahku.”
Rusli   : “Baik, di mana rumah Saudara?”
Hasan : “Sasakgantung 18.”
Rusli   : “Baik, tapi baiknya Saudara dulu datang ke rumahku.”
Hasan : “O ya, ya, insyaallah, memang tuan rumah dulu yang harus memberi selamat
    datang kepada orang baru.”
Rusli   : “Datanglah nanti sore, kalau Saudara sempat. Nanti kita ngobrol. Datanglah kira- kira setengah lima begitu!”
Hasan : “Insyaallah! Di mana rumah Saudara itu? Oya, ya, ini kan ada dalam daftar:
    Kebon Manggu 11.”
Dengan gembira Rusli dan Kartini berpisah dengan Hasan. Kartini mengangguk sambil tersenyum. Hasan mengangguk kembali agak kemalu-maluan. Jantung Hasan sedikit berdebur ketika matanya bertemu dengan mata Kartini.






Adegan 3.
            Sore itu, Hasan mendayung sepedanya menuju rumah Rusli di  Gang Kebon Manggu. Sambil mendayung, Hasan bertanya-tanya dalam hati. Siapakah sebetulnya wanita yang diajak Rusli tadi. Wajah Kartini yang cantik pun terbayang-bayang oleh Hasan, sampai-sampai ia hampir tertabrak oleh sebuah mobil yang tiba-tiba datang dari tikungan Jalan Pungkur. Tepat pukul 17.00 Hasan tiba di rumah Rusli.
Rusli   : “Ah Saudara? Silahkan masuk, Saudara!”
Hasan : (Menyenderkan sepeda di tembok).
Rusli   : “Sepedanya kunci saja, Bung!” (sambil membuka pintu).
“Silahkan duduk, Bung! Saya baru saja beres-beres rumah (menyodorkan
sebungkus rokok).  Mari merokok, Bung! Saya sendiri tidak begitu suka
merokok sigaret. Saya lebih suka menggulung sek saja, atau kalau ada masalah lebih suka rokok kuwung saja.”
            Mereka kemudian asyik menceritakan lakon masing-masing semenjak berpisah lima belas tahun yang lalu. Sambil bercerita mereka merokok terus. Hasan pun mengelilingi rumah Rusli. Melihat-lihat semua sudut rumah. Mereka duduk kembali di serambi muka.
Hasan : “Yang tadi bersama-sama kau itu, siapa sebetulnya? Kusangka istrimu.”
Rusli   : “Istriku?” (tertawa).
Hasan : “Jadi bukan istrimu?”
Rusli   : (Tersenyum).
Hasan : “Kau perkenalkan dia kepadaku tadi sebagai adikmu, Kukira kau hanya berolok-
   olok saja, sebab setahuku kau tidak pernah mengatakan punya adik seorang
   perempuan.”
Rusli   : “Kupikir kau ini agaknya ingin sekali mengetahui siapa dia itu. Betul tidak,
    San?” (memincingkan mata sebelah).
Hasan : “Tidak! Sekali-kali tidak, Rus!” (menyahut dengan tegas).

Rusli pun menceritakan riwayat hidup Kartini kepada Hasan. Ternyata, Kartini telah dipaksa kawin dengan ibunya dengan seorang rentenir Arab kaya. Ibunya pun berhasil menggaruk harta dari kekayaan si Arab kikir. Setelah ibunya meninggal dunia, Kartini segera melarikan diri dari kungkungan si Arab tua itu.
Rusli   : (Tiba-tiba bangkit dari kursinya). “Nah itu datang dia!”
Hasan : (Memanjangkan leher melihat ke luar jendela).
Rusli   : (Membuka pintu) “Halo Tin! Mari, mari masuk!”
Kartini: “Tidak terlalu sore saya datang?!” (tersenyum).
Rusli   : “Ah tidak.”
Kartini: “Jadi kita pergi?” (bertanya memandang Rusli).
Rusli   : “Tentu saja,” (memadamkan rokoknya dalam asbak dan bangkit permisi hendak
   mandi).
  “Saudara-saudara bercakap-cakaplah saja dulu.”
Kartini: “Tuan sudah lama?”
Hasan : “Sudah satu jam kira-kira.”
Kartini: “Rumah Tuan di mana?”
Hasan : “Dekat. Di Jalan Sasakgantung 18.”
Kartini: “O dekat. Saya pun tidak jauh dari sana.”
Hasan : “Di mana?”
Kartini : “Saya di Lengkong Besar 27.”
               “Datanglah sekali-sekali ke rumahku.”
               “Dan sekarang? Tuan toh akan ikut juga menonton?”
Hasan : “Menonton?” (tertegun).
              “Ah tidak!”
Rusli   : “Ya, San, ikutlah! Marilah untuk malam ini kita sama-sama bersukaria.”
  (berteriak dari dalam kamar).
Hasan : “Saya ada urusan lain mesti ke rumah Paman.”
            Hasan pun menolak ajakan Rusli dan Kartini untuk menonton film bersama. Hasan tidak pernah menonton sebelumnya. Didikan keagamaannya tidak sesuai dengan sifat-sifat keriahan dan keduniawian seperti menonton bioskop itu. Hasan tidak ingin kesan alim dan salehnya tercoret akibat duduk di bioskop bersama-sama seorang perempuan yang bukan muhrim. Hasan pun pulang ke Sasakgantung.

Babak 2.
Adegan 1.
            Hasan tidak tahan berdiam di kamarnya. Kamarnya terasa panas. Padahal malam Bandung cukup sejuk. Ia memakai pici, lalu keluar berjalan-jalan mencari hawa segar. Ia  pun berjalan menuju arah Lengkong Besar.  Hasan bertemu kupu-kupu malam di pinggiran jalan. Tetapi Hasan tak acuh dan tetap berjalan. Di simpangan ke Gang Asmi, Hasan dikejutkan dengan suara perempuan. Suara itu rupanya adalah suara Kartini yang tidak diketahui sebelumnya.
Kartini: “Tuan! Tuan! Tunggu dulu! Tolong saya! Serdadu mabuk, Tuan!” (terkapah-
    kapah ketakutan).
Hasan : “Ada apa?” (cemas bercampur heran).
Kartini: “Serdadu mabuk, Tuan!” (sesekali menoleh ke belakang).
Hasan : “Di mana?”
Kartini: “Di warung kopi barusan. Saya lewat di sana, tiba-tiba dari warung kopi keluar
    dua orang serdadu Belanda, menyanyi-nyanyi tak karuan, manggil-manggil saya.
    Saya lari. Tuan, bolehkah saya turut jalan bersama tuan sampai ke rumah?”
Hasan : “Rumahnya di mana?”
Kartini: “Lengkong Besar 27.”
Hasan : “Nyonya kan nyonya Kartini?”
Kartini: “Ya, ya, betul Tuan! Tapi, tapi eh, maaf saja, kalau saya tidak keliru, bukanlah
   tuan itu tuan… eh tuan yang sudah saya berkenalan di rumah Saudara Rusli
   tempo hari? O ya, ya, saya ingat sekarang, tuan kan Tuan Hasan, bukan?”
Hasan : “Betul, Nya!”
Kartini: “Ah maaf saja, karena malam kurang terang, saya tidak lekas mengenal tuan.
    Dan juga karena tuan sekarang memakai piyama.”
Hasan : “Ya begitu juga saya. Maaf saja. Saya pun tidak segera mengenal nyonya, karena
    gelap, dan nyonya pakai kudungan dan mantel. Dari mana nyonya malam-
    malam begini?”
Kartini: “Dari Gang Yuda. Ah kenapa Saudara bilang ‘nyonya’? Panggil sajalah
   ‘saudari’.”
Hasan : (Tersenyum sambil menahan rasa bahagia di hati kecilnya).
Kartini: “Dingin ya,” (menggigil).
            Mereka berjalan terus sambil bungkem, seolah-olah segan mengganggu kesunyian alam. Tiba-tiba di tikungan Tuindorp, datang sebuah mobil sedan. Lampunya menyorot besar. Tumpah seluruh cahayanya kepada mereka berdua. Ketika mau mengambil tikungannya, mobil itu terlalu ke pinggir, sehingga dengan menjerit ketakutan Kartini meloncat ke pinggir persis jatuh ke hadapan Hasan. Kakinya terpelocok. Dengan segera Hasan menyangga badan Kartini dan seketika itu juga badan Kartini sudah berada dalam pelukan Hasan.
Kartini: “O maaf Saudara,” (lekas berdiri tegak).
Hasan : “Eh… eh, sakit Saudara? Saya… eh, saya…” (katanya gugup terpatah-patah).
Kartini: “Nah itu rumah saya!” (menunjuk ke arah rumah berkaca yang terang dalamnya).
Hasan : “O itu?!” (berjalan mendekati rumah).
Kartini: “Mari masuk!” (tersenyum amah).
Hasan : “Ah terima kasih. (agak ragu) Sudah terlalu malam. Masuklah saja Saudara,     saya  akan menanti di sini sampai Saudara sudah masuk ke rumah.”
Kartini: “Tidak mampir dulu?”
Hasan : “Biarlah lain kali saja.”
Kartini: “Baiklah,” (menyodorkan tangannya untuk berjabatan)
“Selamat malam dan terima kasih,” (dengan suara mesra lalu bergegas masuk ke  rumah).
             “Ada yang saya lupa,” (kembali menghampiri Hasan).
             “Datanglah sering-sering ke rumah kakak saya.”
Hasan : “Ke rumah kakak Saudara?!”
Kartini: “Ah ya, aku lupa saja, ke rumah Bung Rusli! Datanglah sering-sering ke sana,
    saya pun hampir tiap sore datang.”
(Berbisik mesra dengan suara melandai) “Kebaikan Saudara akan saya simpan dalam hati saya seumur hidup.”
            Hasan termangu-mangu saja seperti terpesona kepada Kartini. Sejak saat itulah, hati kecilnya teguh bahwa Hasan memang benar-benar menyukai Kartini. Sejak saat itu juga hubungan Hasan dan Kartini semakin dekat. Kartini yang hidup bebas dan atheis tanpa sengaja menjerumuskan Hasan ke dalam kebebasan. Hasan pun menjadi biasa menuruti semua usul Kartini.

Adegan 2.
            Sekitar jam setengah sembilan malam, Hasan dan Kartini pergi ke bioskop. Kira-kira setengah dua belas bioskop bubar. Penonton berjejal keluar dari pintu gerbang. Kartini melepaskan napas panjang ketika sudah bebas dari aliran manusia yang berdesak-desak itu.
Kartini: “Sangat segar, ya! (Kartini menghirup hawa) Kita jalan kaki saja ya, hawanya
enak sejuk, dan angin tidak berapa. Terang bulan lagi!”  (mendekati bangku di   muka park di Jalan Landraad dan Pieterspark).
  “Kita duduk-duduk dulu?”
Hasan : “O baik,” (dengan suara sangat riang).
Kartini: “Sering Saudara duduk-duduk di sini?”
Hasan : “Kenapa Saudara tanya begitu?” (sedikit terkejut).
Kartini: “Ah tidak apa-apa.”
Hasan : “Dulu saya sering juga duduk-duduk di sini, ketika saya masih sekolah.”
Kartini: “Malam?”
Hasan : “Siang. Sekali-sekali juga malam.”
Kartini: (Menyandarkan kepalanya ke atas sandaran bangku. Menengadah ke langit.)
  “Bulan ini juga yang menyaksikan Saudara di dalam park ini dulu?”
Hasan : “Saudara! Bolehkah saya bertanya sedikit?”
Kartini: “Apa saudara?”
Hasan : “Apa paman… eh pandangan saudara terhadap Saudara Rusli?”
Kartini: “Terhadap dia? (tetap tenang, agak tak acuh). Dia orang baik, dia kawan baik
   (kemudian sambil menegakkan dirinya). Kenapa?”
Hasan : “Ah tidak.”
Kartini: “Ah memang kami suka mengemukakan kepada orang lain, bahwa kami kakak- beradik. Itu  karena memang saya merasa seperti adiknya, dan dia seperti kakak   saya.”
Hasan : “Saya kira, Saudara itu betul-betul adiknya. Tapi ternyata bukan. Berbahagia
juga rupanya Rusli dengan adiknya seperti Saudara ini,” (berbicara agak sinis).
Kartini: “Marah San?”
Hasan : “Ah tidak, kenapa mesti marah?”
Kartini: “Syukurlah kalau tidak marah. Kukira marah, tidakkah lebih baik kita saling
    tegur dengan nama saja? Perkataan ‘Saudara’ itu agak kaku rasanya. Kenapa
    tidak suka memanggil aku Tin atau Tini? (lembut). Ah inginlah aku       mendengar nama kasihku itu dari mulutmu.”
Hasan : “Belum cukup dari mulut kakakmu Rusli?”
Kartini: “Kau tidak mengerti aku,” (bisiknya sambil mengeluh ringan lalu menatap bulan).
               “Rupanya kau cemburu kepada dia, San?”
Hasan : (Menatap Kartini dari samping).
Kartini: “Bagaimana aku bisa mencintai dia, kalau aku tahu bahwa untuk dia hanyalah
               perjuangannya yang menjadi tujuan hidupnya. Tak ada yang lebih dicintainya
               daripada ideologi dan cita-cita politiknya.”
Hasan : “Jadi kau tidak mencintai dia, Tin?”
Kartini: “Lindungilah daku,” (bisiknya dan meletakkan kepalanya di atas dada Hasan).

            SEJAK MALAM ITU, HASAN MERASA MENJADI SEORANG MANUSIA BARU LAGI. MAKIN INDAH. MAKIN RIANG. MEMBERI HARAPAN DAN KEBAHAGIAAN. SEKIAN LAMA MENJALIN HUBUNGAN DENGAN KARTINI, HASAN PUN MEMBULATKAN TEKADNYA UNTUK MENIKAHI KARTINI SELEKAS MUNGKIN.
            PADA TANGGAL 12 FEBRUARI 1941, DIKIKAHILAH KARTINI OLEH HASAN. PERAYAAN PERNIKAHANNYA BERLANGSUNG DENGAN SANGAT SEDERHANA. ATAS PERMINTAAN KARTINI, HASAN PUN PINDAH KE RUMAHNYA DI LENGKONG BESAR. MAKA MULAILAH HALAMAN-HALAMAN BARU DALAM HIDUP HASAN.
             
-TAMAT-


Rabu, 16 Desember 2015

Cerita Pendek Pengalaman Pribadi



Cinta Ular Tangga
Aku Andres Melandari si gadis tomboy.  Sifat yang dimiliki oleh aku sangat berbeda dengan ketiga saudara perempuan. Mungkin aku dilahirkan sebagai seorang anak laki-laki akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Kadang aku berpikir dengan sifatku yang berbeda dengan anak-anak perempuan  lainnya yang waktu kecil suka bermain boneka dan bermain pasar-pasaran sedangkan aku hanya  seorang anak  yang  waktu kecilnya suka bermain bersama anak laki-laki, apakah ada seorang laki-laki nantinya yang mau mengdekati ?.
 Kini aku duduk  di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas 11.  Sifat tomboy yang aku miliki mulai sedikit tidak terlihat. Aku mempunyai seorang pacar yang menurutku dia seorang laki-laki yang baik. Namanya Sidhik Pamungkas. Dia seorang kakak kelas satu tahun diatasku. Sudah 6 bulan lebih hubunganku bersama Sidhik. Banyak peristiwa  yang sudah  kita lewati. Kian lama rasa yang ada mulai bertambah dalam hubungan kita. Sehingga hubungan ku dengannya selalu baik-baik saja tanpa ada pertikai diantara kita.  Akan tetapi menjelang kelulusan Sidhik mulai ada gejolak-gejolak yang timbul.
“Hai dhik, kamu mau kuliah dimana apa kamu mau langsung kerja ?”  tanya aku kepadanya.
“InsyaAllah aku mau kuliah dulu, mau coba daftar di UNY.”
“Hah? Jauh dong, terus aku nanti gimana? Kesepian dong tidak ada kamu.
“Iya begitulah,  mungkin kita akan  bisa ketemu di waktu luang”.
Setelah aku tahu bahwa sidhik akan berkuliah ditempat yang jauh, pikiranku sudah mulai muncul hal-hal yang aneh. Aku memikirkan resiko yang akan muncul nantinya. Pasti akan jarang bertemu dengan sidhik.
Pengumuman kelulusan pun berlangsung, jas hitam, dasi merah dan lengkap dengan toga  Sidhik terlihat gagah sekali. Aku  menghampiri dia di dekat depan gedung terbuka.
“Gimana dhik, luluskan pastinya ?”  Tanya ku.
“Iya dong.”
“Berapa Nem mu ?”
“Aku mendapat nem yang lumayan tinggi 34 yang, hehehe”
“Hah masa?”
“Iya beneran sayang.”
Aku sedikit terkejut atas ucapan yang dilontarkan oleh Sidhik karena aku kira dia tidak terlalu memikirkan soal tentang pelajaran malah justru nilainya lebih tinggi dibandingkan teman-teman yang lain.
Beberapa bulan sudah Sidhik sudah meninggalkan Sekolah Menengah Atas dengan melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Sidhik melanjutkan ke Universitas yang diingikannya. Dan aku pun naik tingkat kelas 12. Semenjak Sidhik tidak lagi sekolah lagi disini aku sudah mulai tidak bersemangat lagi. Tidak ada lagi yang setiap  istirahat menghampiri ke kelas.
            Satu bulan sudah tanpa kehadiran Sidhik disisiku. Semenjak Sidhik bersekolah ditempat yang jauh tidak ada lagi yang special dalam hubunganku. Jarak yang jauh membuat kita jarang bertemu. Tapi aku yakin jika Sidhik akan setia kepada ku walaupun jarak telah memisahkannya.
            Dua bulan berlalu, hubunganku dengan Sidhik seperti berteman saja. Di saat keadaan hubunganku seperti ini datang teman dekatku. Dia orang yang benar-benar menyebalkan akan tetapi dia sangatlah kepadaku perhatian. Dia adalah Aris, mantan waktu ku duduk di bangku kelas 10. Tempat duduk ku berbelakangan dengan Aris. Kita sering bersendagurau bersama. Seiring bejalannya waktu Aris semakin perhatian kepadaku. Hati ini mulai tergoyah akan perhatiannya. Sampai suatu saat hari Aris menyatakan sayang kepadaku lewat BBM.
            “Sore, ndres kok sekarang aku merasa kita dekat lagi ya ? seperti muncul perasaan yang lebih dari teman lagi hehehe.”
            “Perasaan apa?”
            “Aku sepertinya sayanng kembali deh sama kamu.”
“Ris kamu kan sudah memilki kekasih, kenapa mesti sayang ke aku ?” Tanya ku padanya.
“Iya memang aku sudah memiliki kekasih, tetapi perasaan ini muncul secara tiba-tiba dan aku sekarang sudah tidak ada lagi perasaan sama kekasihnya aku.”
Aku terkejut atas ternyataan yang dijawabanya.
Hari demi hari sudah ku lalui. Tanpa ku sadari aku mempunyai rasa yang sama dengan Aris. Hatiku bertanya-tanya, “mengapa perasaan ini harus muncul ? Lalu bagaimana dengan hubunganku dengan  Sidhik nantinya.” Pertikaian mulai terjadi.
Ternyata kedekatan ku dikelas dengan Aris dimata-matai oleh teman  dekat pacarnya. Devi menganggap dekatan ku dengan Aris tidak berteman yang biasanya. Devi merasakan bahwa kalian sudah mulai ada rasa kembali.
Perasaanku kepadanya semakin kuat. Bahkan perasaan sayangku lebih besar dibandingkan kepada Sidhik. Sampai suatu hari aku memberikan sedikit saran kepada Aris lewat BBM.
“Sudah ris, kalau kamu memilih pacar kamu yang sekarang ya tidak apa-apa. Aku juga masih ada Sidhik. Jangan maksain perasaan kamu nanti palah kamu yang akan sakit.”
“Iya, akan ku pikirkan matang-matang.”
            Pesan Aris  tidak ku balas kembali, aku tiduran di atas kasur bergulang-gulung dengan berpikir keras bagaimana caranya agar mereka tidak tersakiti karena aku. Tidak mungkin juga jika aku akan memilih kedua-duanya. Ini semua membuatku bimbang. Setelah berminggu-minggu aku memikirkan semau ini akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan Sidhik dan  aku ingin jujur kepada perasaanku sendiri. Aku pikir “percuma jika melanjutkan hubungannya dengan Sidhik jika perasaanku sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang bertemu pun  jarang dan apa lagi Sidhik lebih sibuk dengan urusan sekolahnya.”
Pada hari sabtu malam Sidhik menemui ku di rumahnya. Bingung bagaiamna aku harus mnegawali omonganku ini takut ku berbicara salah. Setelah kita berbincang cukup lama akhirnya aku memberanikan diri untuk  mulai berbicara kepadanya.
“Dhik ada yang aku  bicarakan tapi kamu jangan kaget ya.”
“Hah ? apaaaaaaaa?” Dengan bersendagurau.
“Halah aku aja belum sempat bicara palah kamu sudah kaget duluan. Jadi gini dhik aku pengin kita berteman lagi saja ya mungkin hubungan kita tidak lagi cocok untuk dilanjutkan”
Sidhik hanya tediam kaget atas mendengar perkataanku.
“Tak tega ketika melihat raut wajah sidhik yang awalnya bahagia kemudian memasang raut wajah yang tidak enak.” Batin ku.
“Kenapa kamu berbicara seperti itu yang ?”
“Aku merasa kita sudah tidak cocok saja.”
“Pasti ada alasan lain kamu putusin aku ?”
“Aku tidak mau berhubungan dengan jarak jauh, apa lagi akhir-akhir ini kamu sudah jarang menghubuni aku. Tidak tau kamu sibuk dengan kuliah mu atau apa.”
“Kenapa kamu selalu tidak percaya ke aku yang, disana aku selalu baik tidak pernah nakal dengan wanita lalin, apa kamu masih tidak percaya !”
Aku  diam dan bingung harus ngomong apa lagi. Setelah beberapa menit aku tidak menjawab pertanyaan dari Sidhik akhirnya Sidhik mengatakan “sudah kau itu mau mu” Dengan wajah kecewa Sidhik menaiki motor dengan sangat kencanng.
Seperti tidak percaya akan pernyataanku. Aku yang dulu percayai selalu setia. Kini kepercayaannya telah hancur oleh ku. Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti Sidhik tetapi aku ingin jujur dengan perasaanku sendiri.
Kini masalah ku dengan Sidhik sudah terselesaikan. Aku sekarang menganggap hanya sebagai teman. Selama 13 bulan lamanya aku bersama Sidhik  sangalah berarti kehadiran dia di kehidupan ku. Aku hanya bisa mengenang dengan masa lalu  yang indah itu. Tidak lama aku putus dengan dengannya. Aku  sangat terkejut saat mendengar bahwa Aris telah putus dengan Anisa “apa mungkin  ini juga karena ada hubunganya dengan aku. Akhir-akhir ini kan aku di  mata-mata oleh Devi dan teman-temannya.”
Keesokan harinya aku bertemu Aris di depan pintu gerbang sekolah.
“Kau sendiri saja ris?”
“Iya begitulah seperti yang kau lihat aku sendirian.” Dengan wajah datar.
“Kenapa kok kamu mukanya seperti itu, apa sedang masalah ?”
“Halah kamu pasti udah tau kok kenapa harus tanya.”
“Oooooh soal itu, emang benaran kamu putus ris?” sambil berjalan menuju kekelasnya.
“Percumah kalau aku berlanjut hubungannya dengan Anisa kalau sifat dia yang selalu curigaan terus-terusan tidak pernah mau berubah. lebih baik aku sendiri saja.”
“Apa  putusnnya kamu karena ada hubungannya dengan aku? jawab dengan jujur !”
“hmmmmmmmmmmmmmm.”
Pada saat Aris akan menjawab Boby menepuk dari belakang, kemudian aku berjalan mendahuluinya  untuk  menuju ke kelas. Suasana kelas sangat ramai teman-temanku Anggun, Tama dan Sarah menyambutku dengan suka ria  secara tiba-tiba. Ternyata mereka hanya akan memberitahukan  putusnya Aris dengan Anisa dan memdukungnya aku untuk kembali dengan Aris. Namun aku hanya bisa tersenyum saja karena semuanya tergantunng pada Aris.
            Bel berbunyi waktu pelajaranpun selesai. Aku  Anggun, Tama, dan Sarah berjalan menuju ke parkiran motor tiba-tiba Aris menarik aku dari belakang.
“Ada yang aku bicarakan ke kamu ?” Tanya Aris
“Hahahahaaa, tak usah serius kau bicaranya ris.”
“Ini serius ndres ada yang aku bicarakan. kamu itu sebenarnya masih ada sesuatu tidak dengan aku si?”
Aku hanya bisa tertawa mendengar ucapaan yang dikeluarkan oleh Aris.
“Kenapa kau palah tertawa, apa ada yang lucu atas ucapaanku barusan ?”
“Tidak juga si hehehe.”
“Tolong jawablah ndres, aku tidak bisa membohongi perasaanku saat ini. Rasa sayang aku ke kamu masih sama seperti dulu kita pacaran, aku nyaman dengan kamu sayang. Apa kamu tidak merasakan hal yang sama ?”
Senyum  bahagia yang aku tunjukan
“Kamu mau kembali dengan ku tidak ?”
“Apa kembali ?  emang kamu udah yakin atas keputusan mu  mutusin pacar kamu kemarin. Apa tidak ingin kembali lagi dengannya ?”
“Alah sudahlah jangan bahas tentang dia, sekarang itu antara aku dan kamu saja.”
“Hmmmmmmmmmmm.”
“Jawablah aku butuh kepastianmu sekarang ?”
“Ya sudah deh, aku mauu.”
“Mau apa, yang jelas dong.” terlihat wajah penuh harapan.
“Iya mau kembali dengan mu lah heheh.”
            Saling berpeggangan tangan erat dengan senyuman kebahagian. Dan tepat pada tanggal 20 Maret 2013 aku kembali menjaling pacaran dengan Aris. Beberapa hari gosip tersebar luas disekolah bahwa aku kembali lagi dengan Aris, Anisa mengetahuinya awalnya dia tidak bisa menerima tapi seiring berjalanya waktu Anisa dan teman dekatnya  menerima hubunganku dengan Aris. Akhirnya aku bisa  menjalin kasih dan cinta  bersamanya kembali.