ATHEIS
“Cintaku Untukmu”
DICERITAKAN ADA SEORANG PEMUDA YANG HIDUP DI DESA
PANYEREDAN BERNAMA HASAN. HASAN DAN ORANG TUANYA ADALAH PEMELUK ISLAM YANG
FANATIK. DENGAN DEMIKIAN, SEJAK KECIL IA SUDAH DIAJARI UNTUK SELALU TAAT
BERIBADAH, RAJIN MENGAJI DAN BERSEMBAHYANG. SAAT IA BERSEKOLAH DI MULO, IA
MENJALIN ASMARA DENGAN SEORANG WANITA YANG BERNAMA RUKMINI. NAMUN APA DAYA,
RUKMINI YANG MEMILIKI KEDUDUKAN SOSIAL LEBIH TINGGI, SUDAH DIJODOHKAN DENGAN
PENGUSAHA KAYA DARI JAKARTA. HATI HASAN PUN HANCUR. IA MENJADI FRUSTASI. UNTUK
MENGHILANGKAN RASA SAKIT HATINYA, IA MULAI SANGAT MENDALAMI ISLAM BERSAMA
AYAHNYA. KINI HASAN PINDAH KE BANDUNG DAN BEKERJA DI KOTAPRAJA SEBAGAI PEGAWAI
PEMERINTAH PENDUDUKAN JEPANG .
Babak 1.
Adegan 1.
Siang hari sekitar pukul 13.00 Hasan
sedang menjaga loket bagian jawatan air di Kotapraja. Suasananya tidak begitu
ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang berderet di muka
loket-loket itu. Pada saat itu masuk seorang laki-laki muda dari pintu besar ke
dalam ruangan. Ia diiringi oleh seorang perempuan. Ternyata, laki-laki muda itu
adalah teman lama Hasan.
Rusli : “Itu!” (menunjuk ke arah loket Hasan dan
berjalan mendekati loket).
Hasan : (Melihat Rusli dan sesekali melirik ke arah
Kartini dengan sedikit terkejut).
“Sekarang
tuan.”
Rusli : “Saya baru pindah ke Kebon Manggu 11,”
(sambil bertelekan dengan tangannya di
atas landasan loket).
Hasan : “O, minta pasang?”
Rusli : “Betul, Tuan!” (sambil menatap wajah
Hasan).
“Tapi… tapi… (tiba-tiba) astaga, ini kan Saudara Hasan, bukan?!”
Hasan : “Betul,” (sahutnya agak tercengang, lantas
menegas-negas wajah Rusli).
“Dan Saudara siapa?”
Rusli : “Lupa lagi?” (tersenyum)
“Masa lupa? Coba ingat-ingat!”
Hasan : (Menegas-negas lagi wajah Rusli) “An! Tentu
saja aku tidak lupa? Masa lupa!
Ini kan
Saudara Rusli?” (riang mengeluarkan tangan ke luar loket untuk berjabatan).
“Astaga, tidak
mengira kita akan berjumpa lagi ya. Di mana sekarang?”
Rusli : “Di sini, baru seminggu pindah dari
Jakarta.”
Hasan : “Di sini? Syukurlah… Astaga! (menggeleng
kepala) Sudah lama kita tidak
bertemu ya?
Sejak kapan?”
Rusli : “Saya rasa sejak bersekolah di Tasikmalaya
dulu. Sejak itu kita tidak pernah
berjumpa
lagi.”
Hasan : “Memang, memang (mengangguk-angguk) memang
sudah lama sekali ya?
Sudah berapa
tahun?”
Rusli : “Ya, ya, lima belas tahun (berkecak-kecak
dengan lidah) bukan main lamanya
ya! Tak
terasa waktu beredar. Tahu-tahu kita sudah tua, bukan?”
Hasan : (Tertawa).
Rusli : “Eh perkenalkan dulu, adikku, Kartini
(menoleh kepada Kartini). Tin! Tin!
Perkenalkan,
ini Saudara Hasan, teman sekolahku dulu.”
Hasan : “Hasan,” (bisiknya dalam mulut).
Kartini:
“Kartini,” (menyahut dengan tegas dari balik loket).
Adegan 2.
Hasan pun menyelesaikan urusan
pasang air yang diminta oleh Rusli. Dengan tekun ia mencatat semua peralatan
yang dibutuhkan untuk segera diurus oleh pegawai loket yang lain. Setelah itu,
Hasan kembali menemui Rusli dan Kartini.
Rusli : “Sangat kangen saya kepada Saudara,”
(melipat sehelai formulir ).
Hasan : “Saya pun begitu,” (memungut potlot yang
jatuh).
“Datanglah ke rumahku.”
Rusli : “Baik, di mana rumah Saudara?”
Hasan : “Sasakgantung 18.”
Rusli : “Baik, tapi baiknya Saudara dulu datang ke
rumahku.”
Hasan : “O ya, ya, insyaallah, memang tuan rumah dulu
yang harus memberi selamat
datang
kepada orang baru.”
Rusli : “Datanglah nanti sore, kalau Saudara
sempat. Nanti kita ngobrol. Datanglah kira- kira setengah lima begitu!”
Hasan : “Insyaallah! Di mana rumah Saudara itu? Oya,
ya, ini kan ada dalam daftar:
Kebon Manggu
11.”
Dengan gembira Rusli dan Kartini berpisah dengan
Hasan. Kartini mengangguk sambil tersenyum. Hasan mengangguk kembali agak
kemalu-maluan. Jantung Hasan sedikit berdebur ketika matanya bertemu dengan
mata Kartini.
Adegan 3.
Sore itu, Hasan mendayung sepedanya
menuju rumah Rusli di Gang Kebon Manggu.
Sambil mendayung, Hasan bertanya-tanya dalam hati. Siapakah sebetulnya wanita
yang diajak Rusli tadi. Wajah Kartini yang cantik pun terbayang-bayang oleh
Hasan, sampai-sampai ia hampir tertabrak oleh sebuah mobil yang tiba-tiba
datang dari tikungan Jalan Pungkur. Tepat pukul 17.00 Hasan tiba di rumah
Rusli.
Rusli : “Ah Saudara? Silahkan masuk, Saudara!”
Hasan : (Menyenderkan sepeda di tembok).
Rusli : “Sepedanya kunci saja, Bung!” (sambil
membuka pintu).
“Silahkan duduk, Bung! Saya baru saja beres-beres
rumah (menyodorkan
sebungkus rokok).
Mari merokok, Bung! Saya sendiri tidak begitu suka
merokok
sigaret. Saya lebih suka menggulung sek saja, atau kalau ada masalah lebih suka
rokok kuwung saja.”
Mereka kemudian asyik menceritakan
lakon masing-masing semenjak berpisah lima belas tahun yang lalu. Sambil
bercerita mereka merokok terus. Hasan pun mengelilingi rumah Rusli.
Melihat-lihat semua sudut rumah. Mereka duduk kembali di serambi muka.
Hasan : “Yang tadi bersama-sama kau itu, siapa
sebetulnya? Kusangka istrimu.”
Rusli : “Istriku?” (tertawa).
Hasan : “Jadi bukan istrimu?”
Rusli : (Tersenyum).
Hasan : “Kau perkenalkan dia kepadaku tadi sebagai
adikmu, Kukira kau hanya berolok-
olok saja,
sebab setahuku kau tidak pernah mengatakan punya adik seorang
perempuan.”
Rusli : “Kupikir kau ini agaknya ingin sekali
mengetahui siapa dia itu. Betul tidak,
San?”
(memincingkan mata sebelah).
Hasan : “Tidak! Sekali-kali tidak, Rus!” (menyahut
dengan tegas).
Rusli pun menceritakan riwayat hidup Kartini kepada
Hasan. Ternyata, Kartini telah dipaksa kawin dengan ibunya dengan seorang
rentenir Arab kaya. Ibunya pun berhasil menggaruk harta dari kekayaan si Arab
kikir. Setelah ibunya meninggal dunia, Kartini segera melarikan diri dari
kungkungan si Arab tua itu.
Rusli : (Tiba-tiba bangkit dari kursinya). “Nah itu
datang dia!”
Hasan : (Memanjangkan leher melihat ke luar jendela).
Rusli : (Membuka pintu) “Halo Tin! Mari, mari
masuk!”
Kartini:
“Tidak terlalu sore saya datang?!” (tersenyum).
Rusli : “Ah tidak.”
Kartini:
“Jadi kita pergi?” (bertanya memandang Rusli).
Rusli : “Tentu saja,” (memadamkan rokoknya dalam
asbak dan bangkit permisi hendak
mandi).
“Saudara-saudara bercakap-cakaplah saja dulu.”
Kartini:
“Tuan sudah lama?”
Hasan : “Sudah satu jam kira-kira.”
Kartini:
“Rumah Tuan di mana?”
Hasan : “Dekat. Di Jalan Sasakgantung 18.”
Kartini: “O
dekat. Saya pun tidak jauh dari sana.”
Hasan : “Di mana?”
Kartini :
“Saya di Lengkong Besar 27.”
“Datanglah sekali-sekali ke rumahku.”
“Dan sekarang? Tuan toh akan ikut juga menonton?”
Hasan : “Menonton?” (tertegun).
“Ah tidak!”
Rusli : “Ya, San, ikutlah! Marilah untuk malam ini
kita sama-sama bersukaria.”
(berteriak
dari dalam kamar).
Hasan : “Saya ada urusan lain mesti ke rumah Paman.”
Hasan pun menolak ajakan Rusli dan
Kartini untuk menonton film bersama. Hasan tidak pernah menonton sebelumnya.
Didikan keagamaannya tidak sesuai dengan sifat-sifat keriahan dan keduniawian
seperti menonton bioskop itu. Hasan tidak ingin kesan alim dan salehnya
tercoret akibat duduk di bioskop bersama-sama seorang perempuan yang bukan
muhrim. Hasan pun pulang ke Sasakgantung.
Babak 2.
Adegan 1.
Hasan tidak tahan berdiam di
kamarnya. Kamarnya terasa panas. Padahal malam Bandung cukup sejuk. Ia memakai
pici, lalu keluar berjalan-jalan mencari hawa segar. Ia pun berjalan menuju arah Lengkong Besar. Hasan bertemu kupu-kupu malam di pinggiran
jalan. Tetapi Hasan tak acuh dan tetap berjalan. Di simpangan ke Gang Asmi,
Hasan dikejutkan dengan suara perempuan. Suara itu rupanya adalah suara Kartini
yang tidak diketahui sebelumnya.
Kartini:
“Tuan! Tuan! Tunggu dulu! Tolong saya! Serdadu mabuk, Tuan!” (terkapah-
kapah
ketakutan).
Hasan : “Ada apa?” (cemas bercampur heran).
Kartini:
“Serdadu mabuk, Tuan!” (sesekali menoleh ke belakang).
Hasan : “Di mana?”
Kartini: “Di
warung kopi barusan. Saya lewat di sana, tiba-tiba dari warung kopi keluar
dua orang
serdadu Belanda, menyanyi-nyanyi tak karuan, manggil-manggil saya.
Saya lari.
Tuan, bolehkah saya turut jalan bersama tuan sampai ke rumah?”
Hasan : “Rumahnya di mana?”
Kartini:
“Lengkong Besar 27.”
Hasan : “Nyonya kan nyonya Kartini?”
Kartini:
“Ya, ya, betul Tuan! Tapi, tapi eh, maaf saja, kalau saya tidak keliru, bukanlah
tuan itu tuan… eh tuan yang sudah saya
berkenalan di rumah Saudara Rusli
tempo hari? O ya, ya, saya ingat sekarang,
tuan kan Tuan Hasan, bukan?”
Hasan : “Betul, Nya!”
Kartini: “Ah
maaf saja, karena malam kurang terang, saya tidak lekas mengenal tuan.
Dan juga
karena tuan sekarang memakai piyama.”
Hasan : “Ya begitu juga saya. Maaf saja. Saya pun
tidak segera mengenal nyonya, karena
gelap, dan
nyonya pakai kudungan dan mantel. Dari mana nyonya malam-
malam
begini?”
Kartini:
“Dari Gang Yuda. Ah kenapa Saudara bilang ‘nyonya’? Panggil sajalah
‘saudari’.”
Hasan : (Tersenyum sambil menahan rasa bahagia di
hati kecilnya).
Kartini:
“Dingin ya,” (menggigil).
Mereka berjalan terus sambil
bungkem, seolah-olah segan mengganggu kesunyian alam. Tiba-tiba di tikungan
Tuindorp, datang sebuah mobil sedan. Lampunya menyorot besar. Tumpah seluruh
cahayanya kepada mereka berdua. Ketika mau mengambil tikungannya, mobil itu
terlalu ke pinggir, sehingga dengan menjerit ketakutan Kartini meloncat ke
pinggir persis jatuh ke hadapan Hasan. Kakinya terpelocok. Dengan segera Hasan
menyangga badan Kartini dan seketika itu juga badan Kartini sudah berada dalam
pelukan Hasan.
Kartini: “O
maaf Saudara,” (lekas berdiri tegak).
Hasan : “Eh… eh, sakit Saudara? Saya… eh, saya…”
(katanya gugup terpatah-patah).
Kartini:
“Nah itu rumah saya!” (menunjuk ke arah rumah berkaca yang terang dalamnya).
Hasan : “O itu?!” (berjalan mendekati rumah).
Kartini:
“Mari masuk!” (tersenyum amah).
Hasan : “Ah terima kasih. (agak ragu) Sudah terlalu
malam. Masuklah saja Saudara, saya akan menanti di sini sampai Saudara sudah
masuk ke rumah.”
Kartini:
“Tidak mampir dulu?”
Hasan : “Biarlah lain kali saja.”
Kartini:
“Baiklah,” (menyodorkan tangannya untuk berjabatan)
“Selamat
malam dan terima kasih,” (dengan suara mesra lalu bergegas masuk ke rumah).
“Ada yang saya lupa,” (kembali menghampiri
Hasan).
“Datanglah sering-sering ke rumah kakak saya.”
Hasan : “Ke rumah kakak Saudara?!”
Kartini: “Ah
ya, aku lupa saja, ke rumah Bung Rusli! Datanglah sering-sering ke sana,
saya pun
hampir tiap sore datang.”
(Berbisik
mesra dengan suara melandai) “Kebaikan Saudara akan saya simpan dalam hati saya
seumur hidup.”
Hasan termangu-mangu saja seperti
terpesona kepada Kartini. Sejak saat itulah, hati kecilnya teguh bahwa Hasan
memang benar-benar menyukai Kartini. Sejak saat itu juga hubungan Hasan dan
Kartini semakin dekat. Kartini yang hidup bebas dan atheis tanpa sengaja
menjerumuskan Hasan ke dalam kebebasan. Hasan pun menjadi biasa menuruti semua
usul Kartini.
Adegan 2.
Sekitar jam setengah sembilan malam,
Hasan dan Kartini pergi ke bioskop. Kira-kira setengah dua belas bioskop bubar.
Penonton berjejal keluar dari pintu gerbang. Kartini melepaskan napas panjang
ketika sudah bebas dari aliran manusia yang berdesak-desak itu.
Kartini:
“Sangat segar, ya! (Kartini menghirup hawa) Kita jalan kaki saja ya, hawanya
enak sejuk,
dan angin tidak berapa. Terang bulan lagi!”
(mendekati bangku di muka park
di Jalan Landraad dan Pieterspark).
“Kita
duduk-duduk dulu?”
Hasan : “O baik,” (dengan suara sangat riang).
Kartini:
“Sering Saudara duduk-duduk di sini?”
Hasan : “Kenapa Saudara tanya begitu?” (sedikit
terkejut).
Kartini: “Ah
tidak apa-apa.”
Hasan : “Dulu saya sering juga duduk-duduk di sini,
ketika saya masih sekolah.”
Kartini:
“Malam?”
Hasan : “Siang. Sekali-sekali juga malam.”
Kartini:
(Menyandarkan kepalanya ke atas sandaran bangku. Menengadah ke langit.)
“Bulan ini
juga yang menyaksikan Saudara di dalam park ini dulu?”
Hasan : “Saudara! Bolehkah saya bertanya sedikit?”
Kartini:
“Apa saudara?”
Hasan : “Apa paman… eh pandangan saudara terhadap
Saudara Rusli?”
Kartini:
“Terhadap dia? (tetap tenang, agak tak acuh). Dia orang baik, dia kawan baik
(kemudian
sambil menegakkan dirinya). Kenapa?”
Hasan : “Ah tidak.”
Kartini: “Ah
memang kami suka mengemukakan kepada orang lain, bahwa kami kakak- beradik.
Itu karena memang saya merasa seperti
adiknya, dan dia seperti kakak saya.”
Hasan : “Saya kira, Saudara itu betul-betul adiknya.
Tapi ternyata bukan. Berbahagia
juga rupanya
Rusli dengan adiknya seperti Saudara ini,” (berbicara agak sinis).
Kartini:
“Marah San?”
Hasan : “Ah tidak, kenapa mesti marah?”
Kartini:
“Syukurlah kalau tidak marah. Kukira marah, tidakkah lebih baik kita saling
tegur dengan
nama saja? Perkataan ‘Saudara’ itu agak kaku rasanya. Kenapa
tidak suka memanggil aku Tin atau Tini?
(lembut). Ah inginlah aku mendengar
nama kasihku itu dari mulutmu.”
Hasan : “Belum cukup dari mulut kakakmu Rusli?”
Kartini:
“Kau tidak mengerti aku,” (bisiknya sambil mengeluh ringan lalu menatap bulan).
“Rupanya kau cemburu kepada dia, San?”
Hasan : (Menatap Kartini dari samping).
Kartini:
“Bagaimana aku bisa mencintai dia, kalau aku tahu bahwa untuk dia hanyalah
perjuangannya yang menjadi tujuan hidupnya.
Tak ada yang lebih dicintainya
daripada ideologi dan cita-cita politiknya.”
Hasan : “Jadi kau tidak mencintai dia, Tin?”
Kartini:
“Lindungilah daku,” (bisiknya dan meletakkan kepalanya di atas dada Hasan).
SEJAK MALAM ITU, HASAN MERASA
MENJADI SEORANG MANUSIA BARU LAGI. MAKIN INDAH. MAKIN RIANG. MEMBERI HARAPAN
DAN KEBAHAGIAAN. SEKIAN LAMA MENJALIN HUBUNGAN DENGAN KARTINI, HASAN PUN
MEMBULATKAN TEKADNYA UNTUK MENIKAHI KARTINI SELEKAS MUNGKIN.
PADA TANGGAL 12 FEBRUARI 1941,
DIKIKAHILAH KARTINI OLEH HASAN. PERAYAAN PERNIKAHANNYA BERLANGSUNG DENGAN
SANGAT SEDERHANA. ATAS PERMINTAAN KARTINI, HASAN PUN PINDAH KE RUMAHNYA DI
LENGKONG BESAR. MAKA MULAILAH HALAMAN-HALAMAN BARU DALAM HIDUP HASAN.
-TAMAT-